SIAPA yang tidak mengenal Lapangan Banteng. Sebuah lapangan yang di tengah-tengahnya berdiri Monumen Pembebasan Irian Barat. Di masa Batavia dulu, di sekitar lapangan inilah Waltevreden atau kota baru, berkembang. Hal itu dilakukan, karena Kumpeni Belanda menyadari bahwa kawasan dalam Benteng Batavia sudah tidak sehat. Udara kian pengap karena penduduk terus bertambah dan menambah kepadatan.Karena itulah lantas Gubernur Jenderal Daendels dengan kekuasaannya di masa itu, membongkar Benteng Batavia serta mendirikan istana di dekat Lapangan Banteng. Sayangnya keinginan itu tak tercapai seutuhnya. Daendels harus angkat kaki dari Batavia karena Gubernur Jenderal Sir Stamford Raffles menduduki kota Batavia. Daendels tidak melihat wujud istana yang diimpikannya. Lepas dari kandasnya angan-angan Daendels itu, Lapangan Banteng menyimpan perjalanan sejarah yang panjang. Lapangan yang satu ini dikenal sebagai tempat untuk berburu kijang orang-orang kaya Belanda di Batavia. Tuan tanah usai sibuk berbisnis atau mengawasi perkebunannya, mereka bersama-sama atau sendiri-sendiri, berburu satwa di hutan persis di Lapangan Banteng. Pada masa penjajahan Belanda dulu, warga setempat sering menyebut Lapangan Banteng sebagai Lapangan Singa. Lantaran di tengahnya terdapat tiang tinggi yang di atasnya bertengger patung singa. Kabarnya di masa Batavia dulu memang banyak hutan di luar Benteng Batavia. Salah satunya di Lapangan Banteng tersebut. Mungkin ketika itu banyak ditemukan harimau, singa, babi hutan atau bahkan banteng sekali pun.Salah satu gubernur jenderal Belanda yang suka sekali mengisi hari-harinya dengan berburu di hutan yang kini terletak Lapangan Banteng adalah Gubernur Jenderal Maetsuijker, tahun 1644. Tak tanggung-tanggung, untuk berburu di hutan yang lebat tersebut, Maetsuijker mengerahkan 800 orang pemburu di Lapangan Paviljoen (letaknya kira-kira di Lapangan Banteng sekarang ini). Orang-orang itu tidak semuanya berburu, tapi ditugaskan untuk menggiring satwa-satwa liar ke arah utara. Di antaranya kijang, babi hutan dan banteng. Di sebelah utara, sang Gubernur Jenderal Maetsuijker dengan bidik senjata laras panjangnya sudah siap mengokang, dan dor..dor..dor.. satwa liar yang digiring itu pun terkapar. Belakangan tidak cuma orang-orang Belanda kaya di Batavia yang berburu. Warga setempat pun ikut berburu. Bahkan, orang-orang Cina di Batavia pun ikut-ikutan. Hasilnya memang lumayan untuk dijual di dalam Benteng Batavia. Tapi, sayang pemerintah Kumpeni Belanda punya akal bulus. Mereka mematok pajak sebesar 10 persen bagi setiap hasil buruan yang masuk ke gerbang kota. Ya, sama seperti sekarang ini rakyat sudah sangat susah, pemerintah masih menggenjot pajak yang tinggi. Akibatnya, secara perlahan-lahan jumlah pemburu di hutan di Lapangan Banteng menjadi berkurang.Konon, Lapangan Banteng yang dijadikan sebagai hutan untuk tempat berburu itu pada tahun 1623, sebenarnya merupakan tanah milik Anthonie Paviljoen Sr. Akhir abad ke-17, lapangan yang sudah berganti tangan beberapa kali itu dibeli pemerintah untuk tangsi tentara Prancis dari Mauritius yang diperbantukan di Batavia. Setelah penghuninya sering berganti, lapangan disebut Paradeplaats atau Lapangan Parade. Sekitarnya diubah menjadi asrama tentara yang membujur hingga ke taman Pejambon dan Taman du Bus di belakang Departemen Keuangan sekarang ini. Di sisi selatannya, di tempat yang kini menjadi Hotel Borobudur terdapat tujuh asrama tentara. Di belakangnya ada tujuh asrama lagi. Ketiga sisi lain lapangan itu menjadi perumahan perwira.
Diambil dari sinarharapan co.id
Tuesday, July 8, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment