Sunday, July 20, 2008

Monumen Kesetiakawanan Sosial Nasional


Nasib monumen di Jakarta kian merana. Bangunan itu dibangun hanya untuk peresmian sebuah event atau peringatan kejadian bersejarah. Setelah itu dilupakan bahkan dibiarkan kesepian di belantara Ibu Kota.
Huruf-huruf di Tugu Monumen Kesetiakawanan Sosial Nasional di Senen Jakarta Pusat sudah tidak jelas lagi. Sebagian di antaranya hilang entah ke mana. Sementara yang tertinggal tetap terpatri, tapi bentuknya sudah tidak beraturan ada yang miring. Lingkungan di sekitarnya pun tidak kalah buruk seperti huruf-huruf tersebut.
Bau pesing menyeruak saat mendaki undakan tangga ke atas tugu. Lantai di sekitarnya pecah-pecah, kotor oleh tumpahan kopi, sisa lumpur dan sampah. Pilar-pilar juga sama buruknya karena dicoret-coret.
Luasnya kawasan Tugu Monumen Kesetiakawanan Sosial Nasional dimanfaatkan bermain bola kaki.

Diambil dari sinarharapan.co.id

Saturday, July 19, 2008

Taman Martha Tiahahu




Gulai Tikungan


Pernahkan Anda mengalami kejadian seperti ini: Hari sudah jauh lewat tengah malam dan Anda masih di jalan dengan perut keroncongan kelaparan. Mau makan tapi bingung tempat makan mana yang masih buka.

Kalau Anda berada di sekitar Blok-M tidak perlu khawatir. Di salah satu sudut kawasan itu ada tempat makan yang tidak pernah "tidur". Coba sambangi saja perempatan Jalan Mahakam dan Bulungan, Blok M, Jakarta Selatan. Di sebuah tikungan yang menghubungkan dua ruas jalan, di bawah teduhan pohon, terdapat deretan tenda pedagang gulai asal Klaten, Jawa Tengah. Karena berada di tikungan, pedagang gulai itu populer dengan nama gulai tikungan atau 'Gultik'. Nama itu mulanya ciptaan pelanggan tapi kemudian menjadi semacam 'brand' yang melekat di hati sejumlah orang.

Ya betul, angkringan para pedagang gulai itu buka 24 jam atau sehari penuh, tujuh hari seminggu sepanjang tahun. Harga makanannya murah, hanya Rp 6.000 per porsi.

Diambil dari kompas.com

Sunday, July 13, 2008

Saturday, July 12, 2008

Masjid Cut Meutia


Masjid Cut Meutia itu dulunya merupakan kantor NV BouwPleg. Kantor biro arsitek (sekaligus developer) Pieter Adriaan Jacobus Moojen (1879 - 1955). Bangunan yang bergaya arsitektur Art Nouveau ini pernah jadi Kantor Jawatan Kereta Api Belanda, Kantor Kempeitai Angkatan Laut (pada jaman jepang). Setelah merdeka jadi Kantor urusan Perumahan dan kemudian sebagai Kantor Urusan Agama, sebelum akhirnya (jamannya Gubernur Ali Sadikin) diresmikan menjadi tempat ibadah. Mesjid ini termasuk salah satu bangunan penting dan bersejarah yang menjadi ciri khas bangunan di daerah Menteng dan sekitarnya.

Diambil dari www.benih.net

Tan Ek Tjoan





Meski sering disebut makanan orang bule, roti nyaris hadir sepanjang hidup kita. Makanan ini praktis karena bisa
membuat perut langsung kenyang. Lagipula roti bisa ditemui di mana saja. Belakangan yang menjadi tren adalah
"mengantri" roti di mal.
Tapi, jika Anda tidak hendak ke mal untuk sekadar makan roti, Anda bisa menunggu tukang roti keliling mampir ke
depan rumah. Biasanya, mereka berjualan dengan sepeda bergerobak atau pikulan. Meski juga banyak roti ala modern
yang dijual menggunakan gerobak. Roti resep lama masih bertahan, Misalnya Roti Liong, Roti Lauw, atau Roti Tan Ek
Tjoan. Sebenarnya, untuk urusan mengganjal perut, tidak hanya roti, makanan lain misalnya bakpao, kue ape, kue rangi,
juga bisa.
Bicara roti tertua, tentu masih dipegang Tan Ek Tjoan yang sudah lahir tahun 1930-an diikuti Lauw tahun 1945. Dua
perusahaan roti ini masih berjaya di kawasan Cikini dan di Gondangdia.

Tan Ek Tjoan
Jl. Cikini Raya No. 61
Jakarta.

Diambil dari wartakota.co.id

Tuesday, July 8, 2008

Taman Lapangan Banteng (Teks)

SIAPA yang tidak mengenal Lapangan Banteng. Sebuah lapangan yang di tengah-tengahnya berdiri Monumen Pembebasan Irian Barat. Di masa Batavia dulu, di sekitar lapangan inilah Waltevreden atau kota baru, berkembang. Hal itu dilakukan, karena Kumpeni Belanda menyadari bahwa kawasan dalam Benteng Batavia sudah tidak sehat. Udara kian pengap karena penduduk terus bertambah dan menambah kepadatan.Karena itulah lantas Gubernur Jenderal Daendels dengan kekuasaannya di masa itu, membongkar Benteng Batavia serta mendirikan istana di dekat Lapangan Banteng. Sayangnya keinginan itu tak tercapai seutuhnya. Daendels harus angkat kaki dari Batavia karena Gubernur Jenderal Sir Stamford Raffles menduduki kota Batavia. Daendels tidak melihat wujud istana yang diimpikannya. Lepas dari kandasnya angan-angan Daendels itu, Lapangan Banteng menyimpan perjalanan sejarah yang panjang. Lapangan yang satu ini dikenal sebagai tempat untuk berburu kijang orang-orang kaya Belanda di Batavia. Tuan tanah usai sibuk berbisnis atau mengawasi perkebunannya, mereka bersama-sama atau sendiri-sendiri, berburu satwa di hutan persis di Lapangan Banteng. Pada masa penjajahan Belanda dulu, warga setempat sering menyebut Lapangan Banteng sebagai Lapangan Singa. Lantaran di tengahnya terdapat tiang tinggi yang di atasnya bertengger patung singa. Kabarnya di masa Batavia dulu memang banyak hutan di luar Benteng Batavia. Salah satunya di Lapangan Banteng tersebut. Mungkin ketika itu banyak ditemukan harimau, singa, babi hutan atau bahkan banteng sekali pun.Salah satu gubernur jenderal Belanda yang suka sekali mengisi hari-harinya dengan berburu di hutan yang kini terletak Lapangan Banteng adalah Gubernur Jenderal Maetsuijker, tahun 1644. Tak tanggung-tanggung, untuk berburu di hutan yang lebat tersebut, Maetsuijker mengerahkan 800 orang pemburu di Lapangan Paviljoen (letaknya kira-kira di Lapangan Banteng sekarang ini). Orang-orang itu tidak semuanya berburu, tapi ditugaskan untuk menggiring satwa-satwa liar ke arah utara. Di antaranya kijang, babi hutan dan banteng. Di sebelah utara, sang Gubernur Jenderal Maetsuijker dengan bidik senjata laras panjangnya sudah siap mengokang, dan dor..dor..dor.. satwa liar yang digiring itu pun terkapar. Belakangan tidak cuma orang-orang Belanda kaya di Batavia yang berburu. Warga setempat pun ikut berburu. Bahkan, orang-orang Cina di Batavia pun ikut-ikutan. Hasilnya memang lumayan untuk dijual di dalam Benteng Batavia. Tapi, sayang pemerintah Kumpeni Belanda punya akal bulus. Mereka mematok pajak sebesar 10 persen bagi setiap hasil buruan yang masuk ke gerbang kota. Ya, sama seperti sekarang ini rakyat sudah sangat susah, pemerintah masih menggenjot pajak yang tinggi. Akibatnya, secara perlahan-lahan jumlah pemburu di hutan di Lapangan Banteng menjadi berkurang.Konon, Lapangan Banteng yang dijadikan sebagai hutan untuk tempat berburu itu pada tahun 1623, sebenarnya merupakan tanah milik Anthonie Paviljoen Sr. Akhir abad ke-17, lapangan yang sudah berganti tangan beberapa kali itu dibeli pemerintah untuk tangsi tentara Prancis dari Mauritius yang diperbantukan di Batavia. Setelah penghuninya sering berganti, lapangan disebut Paradeplaats atau Lapangan Parade. Sekitarnya diubah menjadi asrama tentara yang membujur hingga ke taman Pejambon dan Taman du Bus di belakang Departemen Keuangan sekarang ini. Di sisi selatannya, di tempat yang kini menjadi Hotel Borobudur terdapat tujuh asrama tentara. Di belakangnya ada tujuh asrama lagi. Ketiga sisi lain lapangan itu menjadi perumahan perwira.

Diambil dari sinarharapan co.id

Taman Lapangan Banteng





Sunday, July 6, 2008

Gedung Kesenian Jakarta



Gedung Kesenian Jakarta merupakan bangunan tua peninggalan bersejarah pemerintah Belanda yang hingga sekarang masih berdiri kokoh di Jakarta Pusat. Gedung ini adalah tempat para seniman dari seluruh Nusantara mempertunjukkan hasil kreasi seninya, seperti drama, teater, film, sastra, dan lain sebagainya. Bangunan besar berwarna putih ini dibangun pada tahun 1802 M. Ide pendirian gedung ini berasal dari Gubernur Jenderal Belanda bernama Daendels, namun realisasinya baru dilakukan oleh Gubernur Jenderal Inggris, Thomas Stamford Raffles, pada tahun 1814 M.

Dahulu, pada masa penjajahan Belanda, gedung ini berfungsi sebagai teater kota (stadtsschouwburg) dan dikenal dengan sebutan Gedung Komedi. Namun, sejak Pemerintah Jepang mengambil alih pengelolaannya, gedung ini kemudian dijadikan sebagai markas tentara yang dikenal dengan nama Kiritsu Gekitzyoo. Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, tepatnya pada tanggal 29 Agustus 1945, pengelolaan gedung ini diambil alih oleh Pemerintah Indonesia.

Gedung ini juga merupakan saksi sejarah penting perjalanan bangsa Indonesia menuju kemerdekaanya. gedung ini pernah dipakai oleh Ir. Sukarno sebagai tempat meresmikan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan digunakan sebagai tempat bersidang KNIP. Sebelum itu, gedung ini juga pernah digunakan untuk Konggres Pemoeda yang pertama pada tahun 1926.

Setelah itu, antara tahun 1968 hingga 1984, gedung tua ini beralih fungsi menjadi gedung bioskop dan juga digunakan sebagai ruang perkuliahan malam mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Hukum, Universitas Indonesia. Baru setelah dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta No. 24/1984, gedung tua ini kemudian dipugar dan dikembalikan kepada fungsinya semula menjadi gedung kesenian yang bernama resmi Gedung Kesenian Jakarta.

Diambil dari www.malaytourism.com

Wayang Orang Bharata


Wayang orang disebut juga dengan istilah wayang wong (bahasa Jawa) adalah wayang yang dimainkan dengan menggunakan orang sebagai tokoh dalam cerita wayang tersebut . Sesuai dengan nama sebutannya, wayang tersebut tidak lagi dipergelarkan dengan memainkan boneka-boneka wayang (wayang kulit yang biasanya terbuat dari bahan kulit kerbau ataupun yang lain), akan tetapi menampilkan manusia-manusia sebagai pengganti boneka-boneka wayang tersebut. Mereka memakai pakaian sama seperti hiasan-hiasan yang dipakai pada wayang kulit. Supaya bentuk muka atau bangun muka mereka menyerupai wayang kulit (kalau dilihat dari samping), sering kali pemain wayang orang ini diubah/ dihias mukanya dengan tambahan gambar atau lukisan.

Pertunjukkan wayang orang yang masih ada saat ini adalah wayang orang Bharata (di kawasan pasar Senen, Jakarta), Taman Mini Indonesia Indah, Taman Sriwedari - Solo, dan lain-lain.


Diambil dari http:// id.wikipedia.org

Galeri Nasional Indonesia





Galeri Nasional Indonesia merupakan salah satu lembaga kebudayaan yang berfungsi untuk perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan aset seni rupa sebagai sarana edukasi-kultural dan rekreasi serta pengembangan kreativitas dan apresiasi seni. Galeri Nasional Indonesia merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkungan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film, yang sehari-hari dilaksanakan oleh Direktur Kesenian. Galeri Nasional Indonesia memiliki tugas melaksanakan pengumpulan, pendokumentasian, registrasi, penelitian, pemeliharaan, perawatan, pengamanan, penyajian, penyebarluasan informasi dan bimbingan edukatif terhadap karya seni rupa.

Galeri Nasional Indonesia selain mengkoleksi karya senirupa modern dan kontemporer, seperti lukisan, sketsa, grafis, patung, dan fotografi, seni instalasi, juga menyimpan karya seni kriya dan seni etnik yang memiliki estetika tertentu, seperti keramik, batik dan wayang.

Saat ini Galeri Nasional Indonesia memiliki sekitar 1700 koleksi karya seniman Indonesia dan mancanegara, antara lain: Raden Saleh, Hendra Gunawan, Affandi, S. Sudjojono, Basoeki Abdullah, Barli Sasmitawinata, Trubus, Popo Iskandar, Sudjana Kerton, Dede Eri Supria, Ivan Sagito, Lucia Hartini, Iriantine Karnaya, Hendrawan Riyanto, Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Ida Bagus Made, I Ketut Soki, Wassily Kandinsky (Rusia), Hans Hartung (Jerman), Victor Vassarely (Hongaria), Sonia Delauney (Ukraina), Piere Soulages (Perancis), Zao Wou Ki (China).

Selain itu terdapat karya-karya dari Negara-negara Gerakan Non-Blok, seperti dari Sudan, India, Peru, Cuba, Vietnam, Myanmar, dan lain-lain.


Diambil dari galeri-nasional.or.id